Munculnya gerakan pembaharuan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari era-pembaharuan yang terjadi di Timur Tengah semenjak awal abad ke-19 terutama Mesir. Ide-ide pembaharuan dari Timur Tengah ini kemudian berkembang ke Indonesia, baik secara individu maupun secara kelompok. Gagasan-gagasan pembaharuan tersebut datang dari orang-orang yang memiliki tanggung jawab tinggi dalam memperjuangkan prinsip ajaran Islam di tengah kehidupan bangsa Indonesia yang masih dalam belenggu penjajahan.

Kondisi sosial-keagamaan di Indonesia pada saat itu sangat memperhatinkan. Selain disebabkan oleh belenggu penjajahan juga merupakan dampak dari pemahaman keagamaan yang tidak sesuai dengan ajaran yang semestinya, yang kemudian termanifestasikan ke dalam realitas sosial yang cenderung mengarah pada kejumudan, kebodohan, dan kemiskinan. Apalagi sebelum masuknya Islam ke Indonesia, daerah ini merupakan lahan subur dari agama Hindu dan Budha yang kental menganut paham animisme dan dinamisme.

Muhammad Darwis, yang kemudian berganti nama dengan Ahmad Dahlan, yang lahir pada tahun 1869 di Yogyakarta adalah anak dari KH. Abu Bakar yang pergi belajar ke Mekah dan berguru kepada seorang ulama Indonesia yang terkenal yang bernama Ahmad Khatib al-Minangkabawi pada tahun 1980. Sekembalinya ke tanah air, nampaknya ia sangat menghayati arti dan makna serta cita-cita pembaharuan. Yang pasti, ia mulai mengintrodusir cita-citanya dan mengorganisisr teman-temannya di daerah Kauman untuk melakukan pekerjaan sukarela dalam memperbaiki daerahnya dengan membersihkan jalan-jalan dan parit-parit. Di samping itu, iajuga menjadi guru dan mengajarkan ilmu agama bagi teman-temannya di Budi Utomo. Dengan latar belakang kondisi sosial seperti inilah Muhammadiyah didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan (lebih akrab disapa dengan Kyai Dahlan) pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H bertepatan dengan 18 November 1912 M di Kauman Yogyakarta.

Secara singkat, dapat dijelaskan bahwa ada dua faktor yang melatarbelakangi lahirnya Muhammadiyah, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal diantaranya adalah kebijakan politik pemerintah kolonial Belanda yang terus berusaha untuk memperkokoh hegemoninya di Nusantara, serta masuknya ide-ide pembaharuan dari Timur Tengah. Sedangkan faktor internal diantaranya adalah sikap beragama kaum Muslimin yang bercampur dengan kepercayaan animistik, pendidikan Islam yang membentuk pola taqlid buta (bukan hanya terhadap imam mazhab) namun juga sampai kepada guru atau syaikh-syaikh mereka.

Cita-cita awal yang ingin diwujudkan oleh Kyai Dahlan melalui Muhammadiyah meliputi aspek-aspek tauhid, ibadah, mu’amalah dan pemahaman ajaran Islam yang bersumber langsung pada Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam bidang tauhid, Kyai Dahlan ingin membersihkan aqidah Islam dari segala macam kemusyrikan atau perbuatan syirik; dalam bidang ibadah, membersihkan cara-cara ibadah dari bid’ah; dalam bidang mu’amalah, membersihkan kepercayaan dari khurafat; dalam bidang pemahaman terhadap ajaran Islam, ia merombak perbuatan taqlid untuk kemudian memberikan kebebasan dalam ber-ijtihad.

Cita-cita Sosial Muhammadiyah

Fenomena gerakan Muhammadiyah pada awal abad ke-20 banyak menarik minat studi ketimuran. Kemunculan gerakan pembaharuan di tengah kolonialisaasi mengisyaratkan dua arti/makna, yaitu menandai titik balik kesadaran (turning point of consciousness) kalangan pribumi/Islam ketika berhadapan dengan tembok kolonialisasi yang berdiri kokoh hampir di semua dunia Islam, sekaligus merintis gerakan perlawanan melalui jalur kultural. Konsistensi kiprah organisasi yang lahir di Kauman Yogyakarta ini dalam komitmen gerakan kulturalnya menorehkan kontribusi pemikiran dan peran aktif dalam proses mencerahkan kehidupan beragama, mencerdaskan dan menyadarkan harga diri umat, serta meningkatkan harkat dan martabat bangsa.

Kejumudan dan kemiskinan yang dialami oleh rakyat Indonesia pada saat itu bukan hanya di sebabkan oleh penjajahan semata. Namun juga oleh sikap pemahaman yang salah terhadap ajaran Islam. Melalui persyarikatan Muhammadiyah, Kyai Dahlan mempunyai cita-cita sosial yang ingin diwujudkannya. Terutama pembelaan dan pemberdayaan terhadap kaum mustadh’afin. Dalam melaksanakan cita-cita sosialnya ini, Kyai Dahlan tidak hanya berteori dan menganjurkan, akan tetapi juga bersedia berkorban untuk mempraktikkan cita-cita sosialnya, yakni (terutama) tercapainya suatu masyarakat egaliter yang menyantuni anak-anak yatim dan orang-orang miskin.

Di suatu pagi buta Kyai Dahlan memukul kentongan untuk mengumpulkan tetangganya untuk mau membeli peralatan rumah tangganya seperti kursi, meja, jam dinding dan sebagainya dalam sebuah lelangan spontan. Kyai Dahlan menjelaskan bahwa perolehan dari lelangan tersebut akan digunakan untuk “modal” perjuangan, termasuk menyantuni fuqara (kaum fakir), masakin (kaum miskin), dan aitam (anak-anak yatim). Tak salah kiranya (menurut Amin Abdullah) jika Kyai Dahlan bisa disebut sebagai “a man of action” dan bukan “a man of thought” semata. Inilah yang menjadikan persyarikatan Muhammadiyah bisa eksis sampai saat sekarang ini. Yaitu “sedikit bicara banyak bekerja” atau ”satu kata dengan perbuatan”.

Jika ditelisik lebih lanjut, ciri-ciri perjuangan Muhammadiyah yang mencakup: Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar, dan Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid, maka dapat kita tarik bahwa semuanya itu mempunyai implikasi terhadap realita sosial. Dengan kata lain, kesemuanya itu tidak bisa dipisahkan dari aspek sosial. Dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah disebutkan bahwa maksud dan tujuan Muhammadiyah adalah “Mewujudkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujudnya masyarakat utama, adil, dan makmur yang diridhai Allah SWT”.

Ini berarti maksud dan tujuan dari persyarikatan Muhammadiyah tak lain dan tak bukan adalah ingin mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi sekalian alam). Rahmatan lil ‘alamin bukan hanya bagi umat Islam semata, namun juga bagi umat yang lainnya, lintas agama, suku, ras, bangsa, malah juga bagi makhluk lainnya seperti hewan dan tumbuhan.

Gerakan dan Peran Muhammadiyah untuk Masa Depan

Mengingat cita-cita dan peran yang telah dimainkan oleh persyarikatan Muhammadiyah semenjak berdirinya hingga sekarang, maka tak dapat dipungkiri lagi bahwa persyarikatan Muhammadiyah mempunyai peran yang cukup menentukan dalam perjalanan bangsa ini. Amal usaha Muhammadiyah yang telah tersebar di negeri ini adalah buktinya. Mulai dari lembaga pendidikan (mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi), rumah sakit, poliklinik, panti asuhan dll.

Namun, apa yang telah dicapai oleh persyarikatan Muhammadiyah sampai sekarang ini hendaknya tidak membuat pengurus dan warga Muhammadiyah merasa berbangga hati dan berhenti berkarya. Realita sosial yang terjadi saat ini masih membutuhkan kerja keras dan sumbangsih dari kita semua, termasuk didalamnya persyarikatan Muhammadiyah. Susahnya lapangan kerja ditambah dengan membengkaknya angka pengangguran, mahalnya harga sembako, konflik sosial yang terjadi di masyarakat, adalah realita sosial yang terjadi pada bangsa ini dan tak dapat dipungkiri.

Untuk itu, diperlukan sumbangsih dan karya nyata dari persyarikatan dan warga Muhammdiyah sebagaimana maksud dan tujuan Muhammadiyah yang ingin mewujudkan masyarakat utama, adil, dan makmur yang diridhai Allah SWT. Masyarakat utama, adil, dan makmur tidak akan pernah tercapai jika kemiskinan dan kebodohan masih bercokol di tengah-tengah masyarakat.

Sebelum kita menguraikan lebih jauh tentang arah dan peran Muhammadiyah ke depan, maka perlu kita urai beberapa hal yang menjadi ganjalan bagi Muhammadiyah untuk melangkah kedepannya. Diantaranya adalah:

(a) Menurunnya progresifitas gerakan dakwah akibat lemahnya penafsiran terhadap purifikasi (pemurnian) yang menjadi doktrin inti Muhammadiyah.

(b) Muhammdiyah selalu terlambat dalam membangun mitos baru terhadap realitas sosial yang ada, terlalu lama berkutat dengan mitos sinkritisme, animisme, serta takhayul, bidah dan kurofat (TBC). Sehingga perlawanan terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme, kurang mendapat perhatian.

(c) Menurunnya gerakan pemikiran (intelektualisme) di Muhammadiyah yang berakibat serius pada perkembangan amal usahanya sehingga melemahkan daya antisipasi terhadap perubahan.

(d) Terlambatnya Muhammadiyah dalam merespon wacana pemikiran yang sedang berkembang. Semisal Islam liberal, pluralisme, demokrasi, gender dll.

(e) Eforia politik pasca-reformasi yang membawa Muhammadiyah semakin dekat ke garis demarkasi politik praktis. Hampir sebagian warga Muhammadiyah terhanyut dalam eforia politik dan menjadi pengurus di partai-partai politik.

Untuk mengatasi ganjalan-ganjalan di atas, maka diperlukan beberapa hal yang harus dilakukan demi eksistensi Muhammadiyah kedepannya. Diantaranya adalah:

(a) Memacu kembali progresivitas dan mempertajam kembali arah gerakan dengan lebih respon terhadap realitas sosial yang ada. Muhammadiyah harus lebih memiliki kepedulian terhadap persoalan kemiskinan, petani, buruh dan persoalan sosial lainnya.

(b) Perlunya dilakukan tafsir ulang terhadap konsep TBC yang selama ini menjadi doktrin Muhammadiyah. Hal ini diperlukan agar Muhammadiyah tidak tercerabut dari akar budaya bangsa, masyarakat dan mamiliki titik sentuh dengan lapisan keberagaman umat. Konsep Dakwah Kultural bukan diartikan dengan menghalalkan TBC, namun tradisi lokal di akomodasi untuk dituntun pada aqidah yang digariskan Al-Qur’an dan Sunnah.

(c) Membangkitkan kembali etos intelektualisme di Muhammadiyah agar lebih tanggap terhadap perubahan dan wacana yang berkembang.

(d) Muhammadiyah harus tetap konsisten dengan khittah perjuangannnya untuk tidak ikut terlibat dalam aktivitas politik praktis.

(e) Muhammadiyah harus lebih pro-aktif dalam menyikapi berbagai persoalan dan agenda bangsa. Mulai dari persoalan pendidikan, ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya.

(f) Muhammadiayah harus mampu menata diri dan tumbuh mejadi organisasi dengan manajerial gerakan yang terkelola secara rapi dan solid.

Teologi Al-Ma’un sebagai Kepribadian Muhammadiyah

Setiap warga persyarikatan Muhammadiyah pasti ingat bagaimana kisah Kyai Dahlan mengajarkan surat al-Ma’un kepada muridnya sampai-sampai para muridnya sendiri merasa bosan mendengarnya. Pengajaran surat al-Ma’un ini oleh Kyai Dahlan tidak hanya semata-mata karena pesan keadilan sosial yang terkandung di dalamnya belum banyak dilaksanakan oleh para muridnya. Namun juga karena Kyai Dahlan ingin menanamkan suatu pengertian bahwa keadilan sosial adalah realisasi dari tauhid sosial di tengah-tengah masyarakat. Konsekuensi dari tauhid adalah menuntut ditegakkannya keadilan sosial. Karena setiap gejala eksploitasi manusia atas manusia lainnya adalah pengingkaran terhadap nilai-nilai tauhid yang menjunjung persamaan derajat manusia dihadapan Allah SWT.

Kata tauhid dalam Islam dipahami sebagai peng-esa-an Allah SWT. Dalam Islam, tauhid terbagi dua; tauhid rububiyah dan tauhid ilahiyah. Tauhid rububiyahadalah pengesaan Allah disertai bahwa Allah lah satu-satunya pencipta dan pengatur alam ini. Sedang tauhid ilahiyah adalah tauhid yang menyadarkan kepada kita bahwa hanya Allah lah eksistensi tunggal. Tauhid sosial merupakan implementasi dari tauhidullah dalam dimensi sosial.

Sebagai persyarikatan, Muhammadiyah memegang teguh tauhid sebagai doktrin sentral. Hal ini dapat kita lihat dengan jelas dari bendera Muhammadiyah yang menunjukkan bahwa seluruh aktifitas dan kehidupan warga Muhammadiyah harus berdasarkan pada tauhid. Dalam wawasan keagamaan Muhammadiyah, tauhid adalah hal yang paling kunci. Tauhid yang bersih dan jernih akan menghasilkan kehidupan yang seimbang, adil, sejahtera. Begitu juga sebaliknya, tauhid yang telah tercemari oleh “polusi” syirik akan mengakibatkan umat Islam mengalami degradasi dan kemunduran di segala bidang kehidupan.

Dalam konteks keindonesiaan, Muhammadiyah harus mempertajam tauhid sosialnya (disamping harus memegang teguh tauhid aqidah). Realitas sosial yang ada, disertai paham ekonomi kapitalistik telah melahirkan penumpukan kekayaan dan kemakmuran pada pribadi-pribadi tertentu dan penindasan terhadap pribadi lain. Hal ini merupakan penyebab utama dari kekerasan sosial yang terjadi di masyarakat. Dan jika dibiarkan berlarut-larut, maka akan dapat menyebabkan disintegrasi bangsa.

Untuk mengatasi ketidakadilan sosial yang terjadi saat ini, maka Muhammadiyah sebagai persyarikatan perlu untuk menghidupkan lagi spirit al-Ma’un, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Kyai Dahlan di awal-awal pendirian Muhammadiyah. Setidaknya ada beberapa pesan yang dapat ditangkap dari surat al-Ma’un, diantaranya adalah: pertama, orang yang menelantarkan kaum dhu’afa (mustadh’afiin) tergolong ke dalam orang yang mendustakan agama. Kedua, ibadah shalat memiliki dimensi sosial, dalam arti tidak ada faedah shalat seseorang jika tidak dikerjakan dimensi sosialnya.Ketiga, mengerjakan amal saleh tidak boleh dibarengi dengan sikap riya.Keempat, orang yang tidak mau memberikan pertolongan kepada orang lain, bersikap egois dan egosentris termasuk ke dalam orang yang mendustakan agama.

Bila ingin dipadatkan lagi, empat buah pesan yang terkandung dalam surat al-Ma’un inilah yang menjadi cita-cita sosial Muhammadiyah, yaitu ukhuwah(persaudaraan), hurriyah (kemerdekaan), musawah (persamaan), dan ‘adaalah(keadilan).

Spirit inilah yang ditangkap oleh Kyai Dahlan dan diimplementasikannya dalam kehidupan sosial melalui persyarikatan Muhammadiyah. Nilai-nilai ini sejalan dengan misi Islam di muka bumi ini sebagai agama yang rahmatan lil’alamiin.

Dalam perjalanannya, untuk mengimplementasikan tauhid sosial ini memerlukan empat faktor pendukung yang harus hidup dan berkembang pada warga persyarikatan Muhammadiyah. Keempat faktor tersebut adalah:

Pertama,  pencerahan umat

Sejak awal berdirinya, para tokoh Muhammadiyah tidak pernah bosan mengingatkan masyarakat Islam bahwa ilmu pengetahuan adalah “mutiara” kaum muslimin yang hilang dan harus direbut kembali dari tangan barat yang telah mencapai puncak kejayaannya setelah merebut ilmu tersebut dari kaum muslim. Proses pencerahan yang terjadi pada persyarikatan Muhammadiyah adalah melalui proses pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah dan sarana pendidikan sebanyak mungkin. Melaui proses ini maka akan terjadi reduksi terhadap makna santri. Santri yang dahulunya diartikan sebagai umat yang ketinggalan zaman, kolot, sekarang menjadi sebaliknya. Santri dianggap sebagai orang yang mampu menguasai ilmu-ilmu keagamaan dan keduniaan.

Islam juga memberikan apresiasi yang tinggi terhadap orang-orang yang berilmu. Seperti firman Allah dalam Q.S. Al-Mujaadilah ayat 11 yang artinya: “… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Q.S. Al-Mujaadilah ayat 11)

Kedua, menggembirakan amal shaleh

Iman tanpa amal adalah ibarat “pohon tanpa buah”. Betapa banyak ayat-ayat Al-Qur’an ketika berbicara tentang iman, maka akan dibarengi dengan ungkapan “amal shaleh”. Hal ini menunjukkan bahwa iman haruslah disertai oleh amal. Seperti dalam Al-Qur’an Surat An-Nisaa ayat 57 yang artinya: “Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang shaleh, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai; kekal mereka di dalamnya; mereka di dalamnya mempunyai isteri-isteri yang Suci, dan Kami masukkan mereka ke tempat yang teduh lagi nyaman” (Q.S. An-Nisaa ayat 57)

Ketiga, bekerjasama dalam kebaikan

Ta’awun dalam kebaikan telah menjadi doktrin tersendiri dikalangan warga persyarikatan Muhammadiyah. Sebagai organisasi dakwah amar ma’ruf nahi mungkar, Muhammadiyah selalu menghimbau semua pihak untuk dapat bekerjasama demi tercapainya tujuan bersama. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Q.S. Surat Al-Maa’idaah ayat 2 yang artinya: “… dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya” (Q.S. Al-Maa’idaah ayat 2)

Keempat, tidak berpolitik praktis

Dalam mencapai cita-citanya untuk membangun masyarakat utama yang diridhoi oleh Allah SWT, Muhammadiyah menghindari politik praktis. Sepintas sikap ini mungkin dinilai kurang bijak. Namun, jika dilihat lebih jauh, cita-cita yang ingin dicapai oleh persyarikatan Muhammadiyah dalam membangun masyarakat merupakan perspektif jangka panjang. Muhammadiyah tidak ingin mengambil jalan pintas yang belum tentu berhasil. Apalagi akses politik yang tidak stabil dan tidak beretika akan berdampak buruk bagi masa depan umat Islam umumnya dan persyarikatan Muhammadiyah khususnya. Logika Muhammadiyah adalah dengan membina masyarakat lewat siraman nilai-nilai Islam, maka Muhammadiyah telah mempersiapkan manusia-manusia yang berakhlak, yang memegang nilai-nilai dan norma-norma secara kuat.

Kesimpulan

Sebagai sebuah organisasi sosial, Muhammadiyah telah diakui sebagai pilar penting civil society di Indonesia. Bahkan jika melihat banyaknya amal usaha Muhammadiyah berupa ratusan perguruan tinggi, ribuan sekolah, rumah sakit, poliklinik, panti asuhan, dll maka pantaslah kiranya para pemikir Islam menyebut Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modern terbesar di dunia. Hal ini bukannya tanpa sebab. Setelah hampir satu abad berdirinya Muhammadiyah, persyarikatan ini mampu menunjukkan jati diri dan karyanya sebagai organisasi dakwah amar ma’ruf nahi mungkar. Hal ini tentunya menjadi kebanggaan tersendiri sekaligus tantangan bagi kader-kader persyarikatan Muhammadiyah sebagai pelopor, pelangsung, dan penyempurna amanah agar terus berkarya dan jangan sampai mandeg.

Namun, tak dapat kita pungkiri bahwa realita kekinian, tentu berbeda dengan realita sosial yang terdapat pada masa berdirinya Muhammadiyah. Maka, untuk dapat terus berkiprah di abad ini, Muhammadiyah harus mampu menafsirkan ulang dan menyegarkan kembali doktrin-doktrin yang ada di Muhammadiyah agar selalu dapat menjawab tantangan zaman.

Salah satu doktrin yang menjadi kepribadian Muhammadiyah adalah tauhid sosial yang merupakan spirit dari teologi al-Ma’un yang diajarkan oleh Kyai Dahlan. Tauhid sosial adalah implementasi dari tauhidullah dalam bidang sosial kemasyarakatan. Segala bentuk eksploitasi dan penindasan manusia atas manusia lainnya harus di lawan karena pada hakekatnya adalah pengingkaran dari tauhidullah. Inilah yang harus lebih menjadi perhatian bagi persyarikatan Muhammadiyah dimasa kini agar Muhammadiyah dapat eksis terus untuk masa yang akan datang.

Dengan kata lain, Muhammadiyah harus lebih mempertajam tauhid sosialnya (disamping tauhid aqidah), agar tujuan dan cita-cita Muhammadiyah yaitu mewujudkan masyarakat utama, adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT dapat tercapai.

 

Oleh: Rosyidah.

 

Penulis saat ini sedang  mengambil master pada Program Bioagriculture di National Chiayi University, Taiwan. Penulis merupakan alumnus Madrasah Mu’allimaat Muhammadiyah Yogyakarta (2007).

 

sumber: http://anakpanahinstitute.org/ruh-al-mauun-membumikan-kembali-kepribadian-muhammadiyah/